Dari masa sebelum masehi yang kental dengan Filsafat Relativisme (Kebenaran) Sofisme Yunani Kuno, berlanjut ke apa yang kemudian dinamakan Jaman Abad Pertengahan yang berlangsung lama, lebih-kurang selama lima belas Abad, dari sekitar Abad I sampai Abad XV M. Masa ini disebut juga sebagai Era atau masa Medieval atau juga Abad Kegelapan atau Dark Ages) dan dimulai setelah masa Nabi Isa bin Maryam ‘alaihis salaam menapakkan kaki di muka Bumi dan berdakwah.
Beliau dikenal juga sebagai Isa bin (anak) Maryam, yang dengan sejumlah perkecualian dan catatan perbedaan mendasar adalah hampir dapat dikenal sama juga sebagai Yesus Kristus atau Yesus dari Nazareth dalam khazanah Kristen. Kegemparan akan datangnya ’Yesus dari Nazareth’ yang tak memiliki ayah dan nasabnya ditahbiskan kepada Maryam (Maria), ibunya, dan dalam hidup singkatnya menampilkan berbagai mukjizat luar-biasa itu, mengguncang peradaban manusia di sekitarnya saat itu, dan banyak orang yang kemudian berspekulasi akan kenyataan ini.
Di masa ini, lahir pula agama Kristen, dan ide-idenya mendominasi relung kehidupan masyarakat Eropa dan pengikutnya, termasuk para Pemikirnya. Dan wajah peradaban Barat pada Abad Pertengahan ini, karenanya, didominasi oleh Filsafat Kristen. Filsafat Kristen atau Abad Pertengahan ini, antara lain bertokohkan Filsuf Plotinus, (Santo atau Saint) Augustinus atau Augustine, (Saint) Anselmus, Robert Grosseteste, Roger Bacon, Albert Agung, Thomas Aquinas, dsb.; yang kesemuanya sepakat mengedepankan iman dogmatis (tak boleh dibantahi) Kristiani, dan telaahnya pun bersifat religius-dogmatis, akibat pengaruh hebat dan dominan Agama Kristen yang didominasi oknum kaum Gerejawan dan Monarki Baratnya, dengan segala ragam tafsir dogmatisnya.
Dan tak pelak pemanfaatan Platonisme a la Yunani Kuno (dicetuskan Plato) yang mengajarkan bahwa kebenaran itu sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada Tuhan namun berjenis dan berbungkus baru, yang disebut sebagai Neo-Platonisme, menjadi gencar dan ditahbiskan sepenuhnya tanpa telaah kristis kepada iman Kristiani. Ini, mau tak mau mendukung pula klaim dogmatis akan kebenaran Kristen. Para ahli Filsuf dan Agamawan mereka di saat itu karenanya teguh bermottokan ”Credo et intelligam”, atau ”Keyakinan (keimanan agama) berkedudukan di atas pemikiran (logika), keyakinan mengungguli pemikiran” atau lebih mudahnya, ”Yakini dulu sesuatu, baru carikan alasan untuk menjelaskannya”.
Maka, dengan sendirinya, Akal (di Barat) benar-benar kalah pada masa ini (terutama terlihat pada isi Filsafat dari Plotinus, Augustinus, Anselmus). Bahkan potensi pemanfaatan akal diganti mutlak oleh Augustinus dengan Iman dogmatis, sebelum penghargaan terhadap potensi Akal sempat muncul kembali kemudian pada masa Thomas Aquinas di akhir masa Abad Pertengahan itu.
Dan karenanya pula, Aquinas kemudian ditentangi hebat dan dibenci sebagian besar masyarakat Gereja yang terlanjur menjadi pendukung jalur Hati, iman Kristiani, yang dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah iman mutlak dogmatis a la Kristiani, tak mengindahkan telaah kritis akal. Ini juga tak pelak menyebabkan masyarakat Barat di masa itu secara luas menjadi percaya dan beriman dogmatis akan ‘rasa hati’ (atau yang adalah agama, Kristen, lebih tepatnya Kristen Katolik, bagi mereka), karena menurut mereka, Agama adalah rasa hati dan Filsafat adalah pemikiran. Filsafat dan Agama itu sendiri, satu hal yang di masa sesudahnya, terutama masa Thomas Aquinas, dicoba untuk disatu-padukan namun menemui sejumlah kendala sampai masa Modern merebak.
Keyakinan Ksritiani yang mendominasi di masa Abad Pertengahan ini, menjadikannya tidak boleh atau tidak mudah untuk dapat dikritiki, sekaligus membuat kedudukan mereka yang berada dalam struktur otoritas agamanya menjadi tinggi, dan tak dapat disalahkan. Dan karenanya ini juga membuat mereka makmur secara ekonomi, juga sebagai pemegang mandat negara, dengan mandat Otokrasi dan Teokrasi Kristiani. Dan kenyataan ini bagi sebagian orang lain, misalnya rakyatnya yang mereka pimpin, artinya juga adalah kesemena-menaan yang diorganisasikan.
Kekuasaan absolut negara dan pusat-pusat kesejahteraan masyarakat saat itu dipegang mutlak oleh Gereja dan Kerajaan, dengan pajak sistem Feodalisme berdasarkan tafsir mereka terhadap iman Kristiani dan bahwa Gereja adalah wakil Tuhan di Bumi dan bahwa sistem pemerintahan yang terbenar adalah Kerajaan Kristiani penyokongnya. Golongan Ksatria, dan Raja, adalah pelindung rakyat, dan rakyat harus membayar pajak kepada mereka, yang penafsirannya seringkali dianggap semena-mena oleh rakyat.
Tak pelak juga, maka, perkembangan ilmu-pengetahuan yang biasanya berdasarkan kepada gelitikan pemikiran, rasa penasaran, kebertanya-tanyaan, pemikiran, pun menjadi lambat pula. Pendeknya, potensi telaah Akal pada masa ini, dihambati. Ada pula pada masa ini yang disebut sebagai Lembaga Inkuisisi Gereja, yang pada awalnya hanya mengisolasikan, membersihkan, menghukum (dan kalau perlu menyiksai dan membantai) orang Kristen yang dianggapnya kafir (artinya yang dianggap tak sejalan dengan pendapat Gereja), pendeknya terhadap mereka yang menodai, menentangi ajaran Gereja.
Dan ini terjadi terutama terhadap mereka yang termasuk di dalamnya adalah terhadap kaum Homoseksual, kaum Lesbian, mereka yang dianggap sebagai Penyihir, orang-orang yang mungkin sebenarnya adalah penderita penyakit tertentu yang di masa itu belum terjelaskan, atau bahkan terhadap para Penemu atau Ilmuwan yang metodanya tak dapat dipercaya kaum petinggi Gereja pada masanya (misalnya apa yang Gereja jatuhkan terhadap Galileo Galillei), dan sebagainya.
Namun tujuan dan sasaran Inkuisisi Gereja ini kemudian juga meluas menjadi pemusnahan massal terhadap Muslim dan Yahudi yang hidup di Eropa di masa itu juga (yang tentu saja, dalam pandangan Gereja saat itu, kaum Muslimin dan Yahudi jelas adalah orang-orang Kafir dan karenanya tak perlu kiranya dibiarkan hidup mengotori dunia mereka).
Inkuisisi Eropa ini kemudian (khususnya di Spanyol), juga dengan sendirinya menjadikan wilayah Muslim Kekhalifahan Barat di Spanyol dan Portugal (serta di wilayah yang tak seberapa jauh, para muslim yang bermukim di Sisilia), menjadi wilayah Eropa Kristen-Katholik kembali. Dan pembantaian massal ini, berpuncak di sekitar tahun 1491 M.
Yang menarik kiranya, bukan kebetulan pula, tahun ini adalah sekitar satu tahun sebelum Christophorus Columbus berlayar dari Spanyol mencari dunia dan sumber kekayaan baru pada tahun 1492 M, dengan direstui Raja dan Ratu Spanyol yang telah memimpin proses Inkuisisi akhir itu (Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol) dan merebut Spanyol dari kaum muslim; untuk secara tak sengaja kemudian menemukan Benua Amerika, ’Dunia Baru’ itu.
Maka akidah umumnya sendiri di saat itu, didasarkan penuh kepada berbagai persangkaan pemikiran yang didapatkan dari berbagai (puluhan, ada yang menyebut sekitar empat puluh lima, ada yang menyebut sekitar tujuh puluh) versi Injil yang beredar saat itu dengan berbagai penafsirannya, yang kemudian dipilahi menjadi empat Injil (Injil Kanonik).
Dan termasuk di dalamnya adalah pemahaman bahwa Yesus dari Nazareth adalah Tuhan dan Anak Tuhan (yang sekaligus berarti oknum Tuhan ada tiga seluruhnya yang disebut sebagai ajaran Trinitas yaitu terdiri dari tuhan Bapa, Anak, Roh Kudus, hasil Konsili Gereja Chalcedon sekitar empat ratus tahun setelah Nabi Isa AS tidak ada di muka Bumi), lalu meyakini bahwa cara hidup selibat (tidak menikah) a la pertapaan Gereja adalah terbaik agar dapat menjadi dekat dengan Tuhan, juga bahwa kekuasaan tertinggi haruslah dipegang oleh Gereja (dan sistem Monarki-Teokrasi Kristiani), dan sebagainya yang menjadi pengejawantahan cara hidup sehari-hari mereka.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya peminjaman atau pengaruh Neo-Platonisme pada tahap perkembangan Kristen dan Filsafatnya kemudian di masa ini, menjadi dominan dan mendasari pendoktrinan-pendogmaan Kristen pula. Namun juga ditemukan di kalangan minoritas Barat saat itu, pengaruh Filsafat yang mendasarkan pengandalan telaah pemikiran atau Akal a la Aristoteles, misalnya dengan adanya pemahaman kritis dalam deduksi logis (argumen intelektual), walaupun ini tak banyak. Juga ada Stoisisme (kesabaran dan penguasaan diri). Lalu ditemui adanya pengaruh tradisi Yahudi (dari Filsuf Philo), misalnya tentang penggunaan Alegori (kiasan), telaah kemahakuasaan Tuhan, tentang penciptaan, tentang Teokrasi (pemerintahan yang didasarkan kepada agama), dsb.
Golongan Apologis atau Apologetik (pencari alasan untuk pembenaran sesuatu) pun, anehnya (atau malahan justru), mulai menggunakan Filsafat Yunani (Filsafat Relativisme, bahwa ”Kebenaran itu relatif”) pula, untuk dapat membela kebenaran Injil (dengan berbagai argumen yang benar secara relatif). Dan karenanya kaum ini juga berlindung di balik berbagai argumen membingungkan, antara lain yakni menggunakan berbagai argumen akan kebenaran yang relatif itu.
Di luar itu, namun masih berkaitan pula dengannya, mulai populer pulalah istilah Logos atau firman, oleh Filsuf Clements, sebagai sarana (perantara) Tuhan (yang dianggap berada di luar ruang dan waktu), untuk berhubungan dengan manusia (yang berada di dalam ruang dan waktu).
Beliau dikenal juga sebagai Isa bin (anak) Maryam, yang dengan sejumlah perkecualian dan catatan perbedaan mendasar adalah hampir dapat dikenal sama juga sebagai Yesus Kristus atau Yesus dari Nazareth dalam khazanah Kristen. Kegemparan akan datangnya ’Yesus dari Nazareth’ yang tak memiliki ayah dan nasabnya ditahbiskan kepada Maryam (Maria), ibunya, dan dalam hidup singkatnya menampilkan berbagai mukjizat luar-biasa itu, mengguncang peradaban manusia di sekitarnya saat itu, dan banyak orang yang kemudian berspekulasi akan kenyataan ini.
Di masa ini, lahir pula agama Kristen, dan ide-idenya mendominasi relung kehidupan masyarakat Eropa dan pengikutnya, termasuk para Pemikirnya. Dan wajah peradaban Barat pada Abad Pertengahan ini, karenanya, didominasi oleh Filsafat Kristen. Filsafat Kristen atau Abad Pertengahan ini, antara lain bertokohkan Filsuf Plotinus, (Santo atau Saint) Augustinus atau Augustine, (Saint) Anselmus, Robert Grosseteste, Roger Bacon, Albert Agung, Thomas Aquinas, dsb.; yang kesemuanya sepakat mengedepankan iman dogmatis (tak boleh dibantahi) Kristiani, dan telaahnya pun bersifat religius-dogmatis, akibat pengaruh hebat dan dominan Agama Kristen yang didominasi oknum kaum Gerejawan dan Monarki Baratnya, dengan segala ragam tafsir dogmatisnya.
Dan tak pelak pemanfaatan Platonisme a la Yunani Kuno (dicetuskan Plato) yang mengajarkan bahwa kebenaran itu sudah ada dengan sendirinya dan berpusat kepada Tuhan namun berjenis dan berbungkus baru, yang disebut sebagai Neo-Platonisme, menjadi gencar dan ditahbiskan sepenuhnya tanpa telaah kristis kepada iman Kristiani. Ini, mau tak mau mendukung pula klaim dogmatis akan kebenaran Kristen. Para ahli Filsuf dan Agamawan mereka di saat itu karenanya teguh bermottokan ”Credo et intelligam”, atau ”Keyakinan (keimanan agama) berkedudukan di atas pemikiran (logika), keyakinan mengungguli pemikiran” atau lebih mudahnya, ”Yakini dulu sesuatu, baru carikan alasan untuk menjelaskannya”.
Maka, dengan sendirinya, Akal (di Barat) benar-benar kalah pada masa ini (terutama terlihat pada isi Filsafat dari Plotinus, Augustinus, Anselmus). Bahkan potensi pemanfaatan akal diganti mutlak oleh Augustinus dengan Iman dogmatis, sebelum penghargaan terhadap potensi Akal sempat muncul kembali kemudian pada masa Thomas Aquinas di akhir masa Abad Pertengahan itu.
Dan karenanya pula, Aquinas kemudian ditentangi hebat dan dibenci sebagian besar masyarakat Gereja yang terlanjur menjadi pendukung jalur Hati, iman Kristiani, yang dalam hal ini sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah iman mutlak dogmatis a la Kristiani, tak mengindahkan telaah kritis akal. Ini juga tak pelak menyebabkan masyarakat Barat di masa itu secara luas menjadi percaya dan beriman dogmatis akan ‘rasa hati’ (atau yang adalah agama, Kristen, lebih tepatnya Kristen Katolik, bagi mereka), karena menurut mereka, Agama adalah rasa hati dan Filsafat adalah pemikiran. Filsafat dan Agama itu sendiri, satu hal yang di masa sesudahnya, terutama masa Thomas Aquinas, dicoba untuk disatu-padukan namun menemui sejumlah kendala sampai masa Modern merebak.
Keyakinan Ksritiani yang mendominasi di masa Abad Pertengahan ini, menjadikannya tidak boleh atau tidak mudah untuk dapat dikritiki, sekaligus membuat kedudukan mereka yang berada dalam struktur otoritas agamanya menjadi tinggi, dan tak dapat disalahkan. Dan karenanya ini juga membuat mereka makmur secara ekonomi, juga sebagai pemegang mandat negara, dengan mandat Otokrasi dan Teokrasi Kristiani. Dan kenyataan ini bagi sebagian orang lain, misalnya rakyatnya yang mereka pimpin, artinya juga adalah kesemena-menaan yang diorganisasikan.
Kekuasaan absolut negara dan pusat-pusat kesejahteraan masyarakat saat itu dipegang mutlak oleh Gereja dan Kerajaan, dengan pajak sistem Feodalisme berdasarkan tafsir mereka terhadap iman Kristiani dan bahwa Gereja adalah wakil Tuhan di Bumi dan bahwa sistem pemerintahan yang terbenar adalah Kerajaan Kristiani penyokongnya. Golongan Ksatria, dan Raja, adalah pelindung rakyat, dan rakyat harus membayar pajak kepada mereka, yang penafsirannya seringkali dianggap semena-mena oleh rakyat.
Tak pelak juga, maka, perkembangan ilmu-pengetahuan yang biasanya berdasarkan kepada gelitikan pemikiran, rasa penasaran, kebertanya-tanyaan, pemikiran, pun menjadi lambat pula. Pendeknya, potensi telaah Akal pada masa ini, dihambati. Ada pula pada masa ini yang disebut sebagai Lembaga Inkuisisi Gereja, yang pada awalnya hanya mengisolasikan, membersihkan, menghukum (dan kalau perlu menyiksai dan membantai) orang Kristen yang dianggapnya kafir (artinya yang dianggap tak sejalan dengan pendapat Gereja), pendeknya terhadap mereka yang menodai, menentangi ajaran Gereja.
Dan ini terjadi terutama terhadap mereka yang termasuk di dalamnya adalah terhadap kaum Homoseksual, kaum Lesbian, mereka yang dianggap sebagai Penyihir, orang-orang yang mungkin sebenarnya adalah penderita penyakit tertentu yang di masa itu belum terjelaskan, atau bahkan terhadap para Penemu atau Ilmuwan yang metodanya tak dapat dipercaya kaum petinggi Gereja pada masanya (misalnya apa yang Gereja jatuhkan terhadap Galileo Galillei), dan sebagainya.
Namun tujuan dan sasaran Inkuisisi Gereja ini kemudian juga meluas menjadi pemusnahan massal terhadap Muslim dan Yahudi yang hidup di Eropa di masa itu juga (yang tentu saja, dalam pandangan Gereja saat itu, kaum Muslimin dan Yahudi jelas adalah orang-orang Kafir dan karenanya tak perlu kiranya dibiarkan hidup mengotori dunia mereka).
Inkuisisi Eropa ini kemudian (khususnya di Spanyol), juga dengan sendirinya menjadikan wilayah Muslim Kekhalifahan Barat di Spanyol dan Portugal (serta di wilayah yang tak seberapa jauh, para muslim yang bermukim di Sisilia), menjadi wilayah Eropa Kristen-Katholik kembali. Dan pembantaian massal ini, berpuncak di sekitar tahun 1491 M.
Yang menarik kiranya, bukan kebetulan pula, tahun ini adalah sekitar satu tahun sebelum Christophorus Columbus berlayar dari Spanyol mencari dunia dan sumber kekayaan baru pada tahun 1492 M, dengan direstui Raja dan Ratu Spanyol yang telah memimpin proses Inkuisisi akhir itu (Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol) dan merebut Spanyol dari kaum muslim; untuk secara tak sengaja kemudian menemukan Benua Amerika, ’Dunia Baru’ itu.
Maka akidah umumnya sendiri di saat itu, didasarkan penuh kepada berbagai persangkaan pemikiran yang didapatkan dari berbagai (puluhan, ada yang menyebut sekitar empat puluh lima, ada yang menyebut sekitar tujuh puluh) versi Injil yang beredar saat itu dengan berbagai penafsirannya, yang kemudian dipilahi menjadi empat Injil (Injil Kanonik).
Dan termasuk di dalamnya adalah pemahaman bahwa Yesus dari Nazareth adalah Tuhan dan Anak Tuhan (yang sekaligus berarti oknum Tuhan ada tiga seluruhnya yang disebut sebagai ajaran Trinitas yaitu terdiri dari tuhan Bapa, Anak, Roh Kudus, hasil Konsili Gereja Chalcedon sekitar empat ratus tahun setelah Nabi Isa AS tidak ada di muka Bumi), lalu meyakini bahwa cara hidup selibat (tidak menikah) a la pertapaan Gereja adalah terbaik agar dapat menjadi dekat dengan Tuhan, juga bahwa kekuasaan tertinggi haruslah dipegang oleh Gereja (dan sistem Monarki-Teokrasi Kristiani), dan sebagainya yang menjadi pengejawantahan cara hidup sehari-hari mereka.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya peminjaman atau pengaruh Neo-Platonisme pada tahap perkembangan Kristen dan Filsafatnya kemudian di masa ini, menjadi dominan dan mendasari pendoktrinan-pendogmaan Kristen pula. Namun juga ditemukan di kalangan minoritas Barat saat itu, pengaruh Filsafat yang mendasarkan pengandalan telaah pemikiran atau Akal a la Aristoteles, misalnya dengan adanya pemahaman kritis dalam deduksi logis (argumen intelektual), walaupun ini tak banyak. Juga ada Stoisisme (kesabaran dan penguasaan diri). Lalu ditemui adanya pengaruh tradisi Yahudi (dari Filsuf Philo), misalnya tentang penggunaan Alegori (kiasan), telaah kemahakuasaan Tuhan, tentang penciptaan, tentang Teokrasi (pemerintahan yang didasarkan kepada agama), dsb.
Golongan Apologis atau Apologetik (pencari alasan untuk pembenaran sesuatu) pun, anehnya (atau malahan justru), mulai menggunakan Filsafat Yunani (Filsafat Relativisme, bahwa ”Kebenaran itu relatif”) pula, untuk dapat membela kebenaran Injil (dengan berbagai argumen yang benar secara relatif). Dan karenanya kaum ini juga berlindung di balik berbagai argumen membingungkan, antara lain yakni menggunakan berbagai argumen akan kebenaran yang relatif itu.
Di luar itu, namun masih berkaitan pula dengannya, mulai populer pulalah istilah Logos atau firman, oleh Filsuf Clements, sebagai sarana (perantara) Tuhan (yang dianggap berada di luar ruang dan waktu), untuk berhubungan dengan manusia (yang berada di dalam ruang dan waktu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar