(Sering) ada pertanyaan dari kaum non muslim tentang salah satu “nasib wanita muslimah”. Topik kita kali ini adalah pertanyaan: “Kenapa istri muslimah boleh dipukul suami muslim, sedangkan istri kafir tidak boleh dipukul karena dilindungi hukum KDRT?”
Dari sini muncul pertanyaan: kapan, mengapa dan siapa pukulan boleh dilakukan?
untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita kaji.
Dasar yang mereka gunakan adalah Surat An-Nisaa: 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Apa ada yang salah dengan ayat di atas? TIDAK . . .
Sederhananya begini: dari ayat di atas jelas, memukul sebagai alternative terakhir. Menurut ayat di atas, apabila sang istri nusyuz (durhaka), maka yang pertama harus dilakukan adalah menasehati. Namun jika dinasehati tidak mempan dan masih saja durhaka, maka pisahlah dari tempat tidur mereka (pisah ranjang) agar sang istri merasa bersalah atas tingkah durhakanya. Jika kedua cara yang baik ini masih juga tidak mempan dan sang istrri masih saja durhaka, maka pukullah.
Mengenai “pukullah” ini, pukulan yang dimaksud adalah pukulan ringan yang tidak mengucurkan darah serta tidak dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada tubuh, patah tulang, dsb (dharb ghoiru mubbarih). Tujuannya adalah untuk mendidik, memperbaiki, dan meluruskan. Dan bukan pukulan yang keras hingga membuat istri takut dan lari dari suami.
Sabda Rasul Saw:
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut3 maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras.” (HR. Muslim no. 2941)
Contoh kisah nabi Ayub a.s:
Ketika nabi Ayub ditinggalkan oleh istrinya, beliau bernazar jika kelak ia sembuh, ia akan memukul istrinya 100 kali. Dan beliau melakukannya. Tapi dengan seikat lidi berjumlah seratus buah, dan memukul hanya sekali saja. (QS. Shâd [38]: 44)
Intinya, pukulan hanya ditujukan pada istri yang sangat durhaka sekali, yang tidak mengindahkan nasehat dan tindakan peringatan suami dalam bentuk pisah ranjang. Yang patut jadi perhatian! Islam menetapkan batasan-batasan dan syarat-syarat dalam pelaksanaan pukulan sehingga tidak keluar dari tujuan pembolehannya yaitu untuk memperbaiki, meluruskan, dan mendidik. Bukan untuk membalas dendam, menghinkan dan merendahkan. Pukulannya pun harus pukulan yang tidak keras. Tidak boleh melampaui batas.
Isu dan pertanyaan diatas memang persoalan yang perlu dijawab, dikarenakan begitu cukup sering ditanyakan dan tidak hanya itu mereka yang berusaha mencari kelemahan Islam sering menjadikan masalah ini sebagai sasaran empuk untuk mendeskriditkan agama Islam.
Mereka membuat judul yang heboh: “Islam memperbolehkan memukuli istri!” kemudian di hiasi dengan gambar-gambar mengerikan dimana sang suami memegang cambuk atau kayu balok ditangan untuk mengayunkannya kepada sang istri yang terlihat ketakutan dan menahan sakit. Kondisi diatas tidaklah sehat, dikarenakan tujuan si penulis semata-mata ingin menjatuhkan agama Islam tanpa pengetahuan yang benar dan tidak memiliki tujuan yang baik. Memang benar tertulis dalam dalam Al Quran dimana Allah SWT memerintahkan: “Pukullah!”
Perintah “Pukullah” pada Surat An Nisaa ayat 34 di peruntukan bagi istri yang melakukan Nusyuz. Nusyuz adalah kondisi dimana sang istri melakukan pelanggaran terhadap perintah dan larangan suami dan meninggalkan kewajiban berumah tangga secara mutlak.
Nusyuz adalah petaka bagi bahtera rumah tangga, bahtera itu akan karam ditengah laut jika dibiarkan. Dan Islam tidak menginginkan hal tersebut terjadi, karenanya agama Allah SWT ini menyediakan regulasi agar hal tersebut tidak terjadi. “Pukullah” semata-mata merupakan tindakan mendisiplikanbukan untuk menzhalimi istri.
Dan Allah SWT menyediakan empat solusi yang berurutan untuk menangani istri Nusyuz, dan pukulah merupakan langkah ke 3 BUKAN pertama:
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (An Nisaa 4:34).
Pukullah dilakukan setelah menasehati kemudian pisah ranjang. Jika tindakan “Pukullah” terjadi itu membuktikan si istri benar-benar sudah kelewatan dan tindakan fisik pada tahapan ini diperlukan demi menjaga keutuhan rumah tangga, namun ingat bukan menghajarnya habis-habisan seperti gambar-gambar propaganda anti Islam.
Karena di dalam Islam tidak dibenarkan menyiksa istri, seperti yang di contohkan oleh prilaku dan anjuran Nabi Muhammad SAW agar setiap suami berlaku baik kepada istrinya: Di riwayatkan oleh Mu’awiyah al-Qushayri:
“Saya mendatangi Rasulullah (saw) dan menanyakannya: Apakah tuntunan baginda berkenaan masalah istri? Nabi menjawab: Berikan mereka makanan seperti yang engkau makan, berikan pakaian seperti yang engkau pakai, dan jangan kamu pukul mereka, dan jangan mencaci-maki mereka. (Sunan Abu-Dawud, Kitab 11, Nikah, nomor 2139)
Diriwayatkan oleh Mu’awiyah ibn Haydah:”Saya bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana saya harus mendekati istri-istri kami dan bagaimana saya seharusnya meninggalkan mereka? Nabi menjawab: …..jangan engkau mencaci-maki mereka, dan jangan pula memukul mereka. (Sunan Abi Dawud, kitab 11, Nikah, Nomor 2138)”
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah”. (HR. Abu Dawud)
Rasulullah SAW mengisyaratkan sebaik-baiknya kaum Mukmin adalah yang terbaik pada istri-istrinya:
“Kaum mukmin yang paling sempurna keimanannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baiknya kalian ialah yang terbaik kepada istri-istrinya”. (HR. At-Tirmidzi)
Rasulullah SAW juga menganjurkan agar setiap suami bersabar bahkan terhadap prilaku buruk istrinya:
“Barang siapa -diantara para suami- bersabar atas perilaku buruk dari istrinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Ayyub a.s atas kesabarannya menanggung penderitaan.” (HR. Nasa`i dan Ibnu Majah)
Dan juga prilaku sabar Rasulullah terhadap istrinya:
Beliau lebih memilih untuk tidur diluar rumah daripada membangunkan istrinya ketika pulang terlalu malam, dan Beliau tidak pernah menjadi marah apabila makanan belum tersedia. Dari salah satu kisah, disebutkan bahwa pada suatu pagi Rasulullah bertanya kepada Aisyah apakah makanan sudah tersedia. Aisyah menjawab bahwa ia belum mempersiapkan makanan untuk pagi itu. Dengan sabarnya, Rasul hanya berkata bahwa ia akan berpuasa saja pada hari itu. Rasul tidak sedikitpun menjadi kecewa ataupun marah akan keadaan tersebut. Rasulullah bahkan pernah berkata: “sebaik2 lelaki adalah lelaki yang paling baik dan lemah lembut terhadap istrinya.”
Juga mengenai ayat-ayat suci Al Quran yang menyerukan berlaku baik kepada istri:
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (An-Nisa`: 19)
“Bertakwalah kepada Allah dalam perihal wanita. Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan dihalalkan atas kalian kemaluan mereka dengan kalimat Alah. Maka hak mereka atas kalian adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf”. (HR. Muslim)
Seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah SWT sudah sewajarnya mengikuti perintah Islam untuk berlaku baik, bersabar dan memuliakan istrinya seperti yang di contohkan oleh Khalifah Umar Bin Khattab RA saat ia ditanya kenapa ia diam saja saat di marahi istrinya: Tahukah kamu seberapa berat beban yang harus dia tanggung, setelah dia membersihkan seisi rumah sendiri, memasak untuk diriku, merawat dan mendidik anak-anakku. Semua dia lakukan sendiri karena saya tidak bisa membayar pembantu untuk meringankan bebannya, padahal semua itu adalah tugas saya. Memuliakan seorang istri di dalam rumahnya adalah tugas suami. Tapi saya terlalu miskin menggaji pembantu sehingga dia harus mengerjakan semua sendiri. Untuk itu hanya sekedar di omeli saja kenapa saya harus marah, demi melihat pengorbanannya kepada keluarga. (Umar Ibn Khattab RA)
Melihat semua perintah mulia agama Islam dan hadis juga tindakan nabi Muhammad SAW perihal berbuat baik dan memuliakan istri, maka masuk akalkah dengan anggapan bahwa Islam memerintahkan memukuli istri dengan sadis seperti yang di propaganda-kan oleh anti-Islam?
Allah Maha Tahu Tentunya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar